TAQWA

1
Oleh: Andy Wijaya*)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. 49 : 13)

Ayat di atas diawali dengan pemaparan fakta kesinambungan naluri manusia untuk hidup berkolektif, yaitu seorang laki-laki, seorang perempuan, bangsa dan suku. Fakta ini lebih merupakan “tanda material” bagi manusia untuk saling kenal mengenal. Dan juga menyiratkan kesetaraan manusia dalam perspektif gender maupun komunitas. Artinya tak ada yang lebih unggul dari seorang laki-laki atas perempuan atau sebaliknya, juga tak ada yang lebih unggul suatu suku atas suku yang lain dan suatu bangsa atas bangsa lain. Cara Pandang yang seperti inilah yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo sebagai liberasi-humanisasi, bahwa perintah Allah selalu berkesesuaian dengan fitrah manusia sekaligus membebaskan manusia dari tawanan sesuatu yang bersifat material.


Fakta sosial-historis memperlihatkan bagaimana hidupnya pandangan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan pada berbagai kebudayaan dan peradaban. Bahkan pada berbagai momentum, terutama politik, muncul pandangan bahwa perempuan tak bisa menjadi pemimpin dengan berbagai argumen yang juga didasari atau mengacu pada nilai-nilai agama. NAZI Jerman adalah bentuk dari pandangan yang menganggap Ras Arya (bangsa Jerman) sebagai ras manusia yang paling unggul dibanding ras yang lain. Begitu juga dengan bangsa Yahudi yang menganggap mereka sebagai bangsa pilihan.
Pernyataan “agar saling kenal mengenali” mengharuskan manusia untuk saling mempelajari antar budaya berbagai bangsa dan suku. Kemampuan kenal mengenali, kalau mampu dipraktekkan oleh umat Islam, maka umat Islam akan lebih mampu menegaskan posisinya sebagai umatan wasathan (umat tengah-tengah).

Lalu, dimana letak keunggulan manusia? Meneruskan ayat Al Qur’an di atas, maka letak keunggulan tersebut adalah yang paling bertaqwa di antaramu. Kata taqwa menjadi kata kunci untuk kita mendapatkan pengertian. Pengertian taqwa dapat kita pahami seperti pada Q.S Al Baqarah ayat 2-5 dan 177 (masih banyak ayat-ayat lain), yaitu mereka beriman pada Allah, pada yang gaib, pada Kitab Suci, pada malaikat; menegakkan sholat; membayar zakat; menafkahkan sebagian rezeki yang didapat; menepati janji bila berjanji; menyantuni anak yatim, fakir miskin, musafir; orang-orang yang sabar dalam kesempitan. Ini artinya taqwa adalah akumulasi dari iman (keyakinan atau tujuan hidup), ilmu (pedoman untuk menentukan arah yang dilakukan) dan amal (bagaimana mewujudkan tujuan).


Dengan begitu seseorang laki-laki dikatakan lebih baik dari seorang perempuan atau suatu bangsa atas bangsa yang lain atau suatu suku atas suku yang lain lebih dikarenakan ia memiliki keyakinan hidup, tahu arah yang dituju dan mampu mewujudkannya ke dalam bentuk aktivitas-aktivitas nyata. Dan umat Islam sebagai khairu ummah (umat yang terbaik) tentunya harus mewujudkan konsepsi bertaqwa dalam kesehariannya. Dan sesungguhnya hanya orang-orang yang bertaqwa akan menemukan kebenaran Al Quran (QS. Al Baqarah/2 : 2) dalam hidupnya.


Problema taqwa dalam konteks ”saling kenal-mengenali” apabila tidak dipraktekkan dalam kehidupan nyata sehari-hari maka dapat mengakibatkan disintegrasi sosial. Hal ini terjadi karena suatu kelompok masyarakat yang enggan untuk mempelajari kelompok masyarakat yang lain dapat menumbuhkan rasa lebih unggul dari kelompok lain sehingga penindasan dan intoleransi sangat mungkin untuk terjadi.

Penjelasan konsep Taqwa seperti yang dipaparkan di atas, mengarahkan kehidupan Muslim untuk menterjemahkan konsep Taqwa pada hal yang sifatnya lebih luas, yaitu pada kehidupan bermasyarakat dan berbangsa bukan hanya pada konsep Taqwa yang bergerak pada wilayah individual.


Dengan kata lain seseorang dapat dikatakan bertaqwa diawali dari ketaqwaan individual kemudian dioperasionalisasikan pada kehidupan sosial-kemasyarakatan.

Jadi, dengan demikian kualitas ketaqwaan seseorang tidak bisa hanya diukur dari praktek-praktek ibadah yang sifatnya individual, tapi juga harus dilihat dari seberapa besar manfaat seseorang dalam kesehariannya pada masyarakat; sebagai bentuk manifestasi dari ketaqwaan individualnya.

*) Penulis adalah Sekretaris Umum KAHMI Wilayah Bengkulu Periode 2007 - 2012