Maulid Nabi : Quo Vadis?

1
Tulisan pernah dimuat pada http://almuhtadinperumdam.blogspot.com

Oleh M. Azam Prihatno Azwar*)

Pada tanggal 20 Maret 2008 ini bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1429 H, suatu hari yang sangat bersejarah, bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi seluruh umat manusia. Karena, pada hari tersebut, tepatnya pada tahun 570 M atau 53 tahun sebelum Hijrah, lahirnya sesosok manusia yang nantinya akan mempelopori sebuah revolusi peradaban dunia; peradaban yang penuh dengan keteraturan kemajuan yang transendental. Manusia tersebut bernama Muhammad Rasul Allah SAW.

Perjalanan hidup beliau dipenuhi dengan perjuangan revolutif, baik phisik-material maupun mental-spiritual. Bahkan perjalanan revolutif beliau tersebut membawa perubahan terbesar dalam sejarah kehidupan umat manusia. Beliau menjadi sosok yang teguh dalam menegakkan keadilan, konsisten dalam menundukkan kelaliman dan memiliki rasa belas kasih yang tak terperi.

Dengan kebesaran dan kemuliaan yang dimilikinya membuat manusia seluruh dunia memperingari hari lahir beliau dengan penuh cita-cita dan harapan agar dapat selalu mengambil hikmah dari kehadirannya di muka bumi, demi kepentingan umat manusia itu sendiri. Maka, oleh karena itu, diciptakanlah berbagai macam seremoni agar peristiwa kelahiran beliau tersebut bisa “berkesan” bagi yang memperingatinya, meskipun beliau tidak pernah menganjurkan umatnya untuk memperingati hari lahirnya. Mulai dari yang sangat sederhana, seperti mengadakan ceramah seputar hari lahir beliau, sampai dengan kegiatan yang penuh dengan nuansa mistis, seperti yang biasa kita saksikan pada sebagian masyarakat kita.

Terlepas dari apa yang dilakukan umat dalam memperingati hari lahir beliau, yang terpenting perlu kita sikapi dari peristiwa ini adalah seberapa besar

manfaat yang bisa kita ambil untuk kehidupan umat manusia, kini dan masa mendatang. Jangan sampai kegiatan yang dilakukan terjebak pada suatu rutinitas yang tidak membawa arti apa-apa bagi umat; Kegiatan peringatan hari lahir Muhammad SAW (Maulid Nabi) dilaksanakan hanya karena perasaan “tidak enak” kalau tidak dilaksanakan. Kalau hal ini yang terjadi, maka jangankan untuk mendapatkan hikmah, pelaksanaanya pun akan terasa kering dan menjemukan, baik bagi pelaksana kegiatan maupun jama’ahnya, sehingga akhirnya , manfaat yang diharapkan akan susah didapat.
Untuk mencegah agar kegiatan Maulid Nabi tidak terjebak pada suatu rutinitas belaka, kita harus memulainya dari suatu pertanyaan: “Apakah tujuan dalam melaksanakan peringatan Maulid?”. Jawaban dari pertanyaan ini akan memunculkan pertanyaan berikutnya, yaitu “Bagaimana caranya agar tujuan dari peringatan tersebut dapat tercapai?” dan akhirnya “Apa bentuk kegiatannya?”. Dengan metode ini diharapkan akan muncul suatu kegiatan Maulid yang cerdas-kreatif dan kontekstual terhadap permasalahan umat yang terjadi saat ini.

Jawaban dari pertanyaan ”Apa tujuan peringatan Maulid?”, diawali dari persoalan lokal umat yang ada di sekitar kita dengan rincian yang nyata bukan normatif. Misalnya, masalah nyata pada masyarakat sekitar adalah masalah kebodohan maka kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan upaya untuk mencerdaskan umat, atau ketidakpedulian umat maka kegiatannya mengarah pada penumbuhan kesadaran untuk peduli pada umat. Dapat juga, umpamanya yang terjadi pada masyarakat sekitar adalah masalah kekosongan spiritual maka kegiatannya adalah dalam rangka menjawab persoalan itu, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya, kegiatan yang dilakukan diupayakan untuk selalu berada pada upaya “problem solving” bagi permasalahan umat sekitar kita.

Peringatan Maulid Nabi, dengan demikian, menjadi suatu kegiatan yang bernas, penuh dengan solusi yang cerdas dan dinamis bagi kemajuan umat manusia seluruhnya, sesuai dengan keinginan Tuhan mengangkat Muhammad sebagai Rasul-Nya yaitu sebagi rahmatan lin ‘alamin , rahmat bagi sekalian alam. Sehingga peringatan Maulid Nabi juga mengapresiasi keinginan Tuhan tersebut.

Akan tetapi, kalau kita mencoba melaksanakan peringatan Maulid Nabi dengan metode seperti di atas, mungkinkah hanya dengan peringatan yang bersifat seremonial belaka. Jawabnya sudah pasti: Tidak. Lalu…, Bagaimana?


Kita harus melakukan perubahan yang paradigmatik dalam menyikapi hari lahir Nabi Muhammad SAW, dari yang hanya “peringatan” menjadi “Gerakan Peringatan Maulid Nabi”, suatu gerakan yang disusun secara sistematis dan terorganisir. Maka dari itu, kegiatan yang berkaitan dengan Maulid Nabi harus dilaksanakan dengan segala daya-upaya bukan dengan “sekedar saja”; yang penting terlaksana. Kita harus meninggalkan kebiasaan “sekedar saja” dalam membangun kejayaan Islam. Dan, dengan demikian, kita sudah melangkah satu langkah ke depan.

Memang untuk taraf awal, kita hanya “sekedar” melaksanakan peringatan Maulid Nabi, tapi akankah kita terus seperti ini?. Kalau ini terus kita lakukan, maka jangan mengeluh melihat kondisi umat yang seperti ini dimana Masjid belum dijadikan sebagai “rumah kedua”, kebodohan dan kemiskinan masih diderita sebagian umat Islam; umat masih merasa jauh dari Tuhannya.

Satu hal lagi, yang tak kurang pentingnya dari peringatan Maulid Nabi adalah bagaimana kita menjadikan momen Maulid sebagai upaya secara sadar untuk “melahirkan” kembali Muhammad SAW. Rasulullah memang telah wafat, tapi yang wafat hanyalah jasadnya, risalah perjuangannya yang telah diinstitusikan dalam “Sunnah Rasul” tidak boleh mati. Jadi, setiap tahun akan selalu “lahir” Muhammad yang dapat membawa pencerahan bagi kita. Kalau dahulu, pada saat Muhammad SAW masih hidup, ketika sahabat beliau ada permasalahan maka akan mudah untuk mendapatkan jawaban karena dapat langsung “curhat” kepada Baginda Rasul. Kalau kita selalu melahirkan kembali Muhammad pada setiap peringatan Maulid Nabi, maka kita pun dapat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para sahabat Rasul zaman dahulu, kendati pun dalam bentuk yang lain, yaitu dengan selalu merujuk pada Sunnahnya.


Hanya saja, permasalahannya sekarang, bagaimana kita dapat menghadirkan kembali Muhammad SAW dalam keseharian kita?, sedangkan kita jarang sekali mempelajari, apalagi menghayati sejarah hidup beliau, yang akhirnya-dapat dikatakan-, kita belum mengenal Muhammad SAW, kononlah lagi akan mencintainya, bahkan akan menghadirkannya dalam setiap peringatan Maulid.
Sedangkan, apabila kita telah mempelajari sejarah Rasul Muhammad, itupun menurut Muhammad Al Ghazaliy belum cukup, sebagaimana termaktub dalam bukunya pada halaman paling terakhir yang berjudul Fiqhus Sirah, yaitu, sebagai berikut:

“Mungkin anda merasa telah mempelajari kehidupan Muhammad Rasul Allah SAW. Bila anda telah mengikuti sejarah hidupnya sejak belau lahir hingga wafat. Itu adalah anggapan yang sangat keliru. Anda tidak akan memahami benar-benar riwayat kehidupan beliau kecuali jika anda telah mempelajari dan memahami isi Al Qur’anul Karim dan Sunnah Suci Rasul Allah SAW.


Seberapa dekat hubungan anda dengan seorang nabi pembawa agama Islam tergantung pada sejauh mana anda memahami dan mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”

******

Selamat ber-Maulid Nabi, semoga kita selalu dalam upaya untuk menjadikan beliau sebagai uswah utama dalam kehidupan ini. Aamiin.

*) Penulis adalah salah satu pengurus masjid dan masih aktif di lembaga sosial masyarakat