MUSWIL I FORHATI BENGKULU (DALAM FHOTO)

0

HASIL VOTING PEMILIHAN PRESIDIUM FORHATI PERIODE 2008 -2012


PESERTA MUSWIL FORHATI KETIKA MENUNGGU HASIL VOTING


PRESIDIUM FORHATI BENGKULU PERIODE 2008 -2012
(DARI KI-KA : POPPY DAMAYANTI, SASMAHERA, DEKONIATI, KHUSNUL KHOTIMAH, NURLIANTI CHANIAGO, FONIKA THOYIB DAN EMI HERAWATI)
0

PARA PESERTA PEMBUKAAN MUSWIL I FORHATI


KETUA HARIAN PRESIDIUM KAHMI (PROF. ZAINAL MUKTAMAR) MEMBUKA MUSWIL I FORHATI


"GENERASI MUDA" ALUMNI HMI WATI


DARI KI-KA: MARIA BOTIFAR (MANTAN KETUM KHI PERIODE 1997 - 1998) DAN ROSDIANA BASRI (MANTAN BENDAHARA UMUM KHI PERIODE 1994 - 1995).


SUASANA MUSWIL I FORHATI
0

PARA PESERTA MUSWIL I FORHATI

TAQWA

1
Oleh: Andy Wijaya*)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. 49 : 13)

Ayat di atas diawali dengan pemaparan fakta kesinambungan naluri manusia untuk hidup berkolektif, yaitu seorang laki-laki, seorang perempuan, bangsa dan suku. Fakta ini lebih merupakan “tanda material” bagi manusia untuk saling kenal mengenal. Dan juga menyiratkan kesetaraan manusia dalam perspektif gender maupun komunitas. Artinya tak ada yang lebih unggul dari seorang laki-laki atas perempuan atau sebaliknya, juga tak ada yang lebih unggul suatu suku atas suku yang lain dan suatu bangsa atas bangsa lain. Cara Pandang yang seperti inilah yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo sebagai liberasi-humanisasi, bahwa perintah Allah selalu berkesesuaian dengan fitrah manusia sekaligus membebaskan manusia dari tawanan sesuatu yang bersifat material.


Fakta sosial-historis memperlihatkan bagaimana hidupnya pandangan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan pada berbagai kebudayaan dan peradaban. Bahkan pada berbagai momentum, terutama politik, muncul pandangan bahwa perempuan tak bisa menjadi pemimpin dengan berbagai argumen yang juga didasari atau mengacu pada nilai-nilai agama. NAZI Jerman adalah bentuk dari pandangan yang menganggap Ras Arya (bangsa Jerman) sebagai ras manusia yang paling unggul dibanding ras yang lain. Begitu juga dengan bangsa Yahudi yang menganggap mereka sebagai bangsa pilihan.
Pernyataan “agar saling kenal mengenali” mengharuskan manusia untuk saling mempelajari antar budaya berbagai bangsa dan suku. Kemampuan kenal mengenali, kalau mampu dipraktekkan oleh umat Islam, maka umat Islam akan lebih mampu menegaskan posisinya sebagai umatan wasathan (umat tengah-tengah).

Lalu, dimana letak keunggulan manusia? Meneruskan ayat Al Qur’an di atas, maka letak keunggulan tersebut adalah yang paling bertaqwa di antaramu. Kata taqwa menjadi kata kunci untuk kita mendapatkan pengertian. Pengertian taqwa dapat kita pahami seperti pada Q.S Al Baqarah ayat 2-5 dan 177 (masih banyak ayat-ayat lain), yaitu mereka beriman pada Allah, pada yang gaib, pada Kitab Suci, pada malaikat; menegakkan sholat; membayar zakat; menafkahkan sebagian rezeki yang didapat; menepati janji bila berjanji; menyantuni anak yatim, fakir miskin, musafir; orang-orang yang sabar dalam kesempitan. Ini artinya taqwa adalah akumulasi dari iman (keyakinan atau tujuan hidup), ilmu (pedoman untuk menentukan arah yang dilakukan) dan amal (bagaimana mewujudkan tujuan).


Dengan begitu seseorang laki-laki dikatakan lebih baik dari seorang perempuan atau suatu bangsa atas bangsa yang lain atau suatu suku atas suku yang lain lebih dikarenakan ia memiliki keyakinan hidup, tahu arah yang dituju dan mampu mewujudkannya ke dalam bentuk aktivitas-aktivitas nyata. Dan umat Islam sebagai khairu ummah (umat yang terbaik) tentunya harus mewujudkan konsepsi bertaqwa dalam kesehariannya. Dan sesungguhnya hanya orang-orang yang bertaqwa akan menemukan kebenaran Al Quran (QS. Al Baqarah/2 : 2) dalam hidupnya.


Problema taqwa dalam konteks ”saling kenal-mengenali” apabila tidak dipraktekkan dalam kehidupan nyata sehari-hari maka dapat mengakibatkan disintegrasi sosial. Hal ini terjadi karena suatu kelompok masyarakat yang enggan untuk mempelajari kelompok masyarakat yang lain dapat menumbuhkan rasa lebih unggul dari kelompok lain sehingga penindasan dan intoleransi sangat mungkin untuk terjadi.

Penjelasan konsep Taqwa seperti yang dipaparkan di atas, mengarahkan kehidupan Muslim untuk menterjemahkan konsep Taqwa pada hal yang sifatnya lebih luas, yaitu pada kehidupan bermasyarakat dan berbangsa bukan hanya pada konsep Taqwa yang bergerak pada wilayah individual.


Dengan kata lain seseorang dapat dikatakan bertaqwa diawali dari ketaqwaan individual kemudian dioperasionalisasikan pada kehidupan sosial-kemasyarakatan.

Jadi, dengan demikian kualitas ketaqwaan seseorang tidak bisa hanya diukur dari praktek-praktek ibadah yang sifatnya individual, tapi juga harus dilihat dari seberapa besar manfaat seseorang dalam kesehariannya pada masyarakat; sebagai bentuk manifestasi dari ketaqwaan individualnya.

*) Penulis adalah Sekretaris Umum KAHMI Wilayah Bengkulu Periode 2007 - 2012

Islam dan Pluralisme (2)

0
Tulisan ini dimuat pada http://kahmiuin.blogspot.com

Oleh: M. Mukhlis Fahruddin*

Penyelesaian Metodologis

Polemik pluralisme terjadi karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sebagai berikut: Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural. Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.
Dari uraian di atas sumber konflik pada permasalahan ini adalah karena adanya pemahaman yang berbeda tentang pluralisme, pihak yang pro melandasinya dari realitas masyarakat yang majemuk sehingga perlu dikembangkan sikap untuk menjaga keutuhan persatuan, kedamaian dengan toleransi dan sikap menghargai kepercayaan yang dianut oleh kelompok/ lain, hal ini tidak sama dengan berpindah agama atau menjadikan kepercayaan (Islam; Aqidah/Iman) menjadi kabur.

Berbeda dengan kelompok kontra, mereka menghawatirkan gerakan ini akan merusak aqidah ummat karena adanya konsep bahwa pada hakekatnya semua agama benar, saling menghargai kenyakinan masing-masing hal ini sama saja dengan mengkaburkan iman dan ditakutnya akan berpindahnya agama tanpa meraka melihat realitas majemuk masyarakat.
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralism, melainkan bentuk sintetis asimilasi yang dikemas dalam kata lain. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism-non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme-asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.
Dalam fatwa pengharaman, MUI mendefinisikan bahwa pluralisme yang dilarang adalah yang "menganggap semua agama yang berbeda adalah sama". Sementara salah satu konsekuensi dari penyamaan itu adalah berubahnya aspek-aspek baku dari suatu ajaran mengikuti ajaran yang lain, yang hal itu tidak dikehendaki ajaran manapun. Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism-non asimilasi, hal ini di-salah-pahami sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya.
Sementara di sisi lain bagi penganut definisi pluralisme-asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya. Dengan tingkat pendidikan yang kurang baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan tersinggung seringkali muncul dalam perdebatan antar tiga pihak yaitu; penganut pluralisme–asimilasi, penganut pluralism-non asimilasi dan penganut anti-pluralisme (yang sebenarnya setuju dengan pluralism non-asimilasi)
Terhadap sejumlah kontradiksi, tentu saja harus ada penanganan dan penyelesaian metodologis. Sebab, sebagai teks yang memiliki otoritas mutlak yang tak terbantahkan, Al-Qur'an adalah kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Islam. Pembacaan terhadap kitab Al-Qur'an sendiri secara cermat menyangkut tema pluralisme agama bukan saja sangat berguna, melainkan terasa sangat mendesak di tengah semarak kekerasan di Indonesia yang sering kali berbasiskan sejumlah teks agama, termasuk Al-Qur'an. Untuk kepentingan itu, pada hemat saya, Al-Qur'an kiranya perlu dipecah ke dalam dua macam kategori.
Pertama, adalah ayat-ayat yang bersifat universal, ushul, ghayat (tujuan) dan lintas-batas yang meliputi batas historis, ideologi, etnis, suku, bahkan agama. Ayat-ayat seperti ini biasanya lebih banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar ajaran dalam Islam, seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan (termasuk kesetaraan gender), pluralisme (termasuk pluralisme agama), dan penegakan hak asasi manusia (iqamah huquq al-insan). Dalam lanskap ini, maka ayat-ayat yang mendukung pluralisme adalah ayat-ayat ushul yang derajat relevansinya tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Kedua, adalah ayat-ayat Alquran yang tergolong sebagai ayat partikular, juz`iy, fushul, dan wasilah. Yaitu, ayat-ayat yang biasanya berbicara tentang hal-hal yang teknis-operasional dengan demikian ia terikat oleh konteks spasial. Masuk dalam kategori model ayat kedua ini, di antaranya, adalah ayat-ayat yang terkait dengan waris, ketidakadilan gender, perintah memerangi orang kafir-musyrik, diskriminasi terhadap perempuan dan nonmuslim, dan lain-lain. Dengan mengacu pada ayat yang demikian, maka dapat dimaklumi sekiranya para ulama fikih klasik mempunyai pendirian teologis yang eksklusif. Mayoritas pemikir fikih Islam klasik, misalnya, berpandangan bahwa (1) tidak diperkenankan bagi orang kafir dzimmi untuk tampil lebih unggul dari orang Islam; (2) nonmuslim tidak boleh menjadi kepala negara bagi umat Islam; (3) nonmuslim adalah warga negara kelas dua, dan sebagainya.
Menghadapi ayat-ayat partikular yang cenderung eksklusif bahkan diskriminatif itu, maka hemat saya tidak bisa lain kecuali harus segera ditundukkan ke dalam pengertian ayat dalam kategori pertama. Ayat partikular mesti didialogkan dengan ayat-ayat universal. Ayat yang fushul dapat direvisi oleh ayat-ayat yang ushul. Dengan demikian, ayat yang mendukung pluralisme agama dapat menganulir ayat yang tidak mendukungnya. Inilah yang dimaksud oleh kaidah ushul fikih sebagai naskh al-ayat bi al-ayat. Satu ayat dapat dianulir oleh ayat yang lain. Menurut Ibnu al-Muqaffa, sayangnya umat Islam telah lama terlena oleh ayat-ayat yang fushul (partikular) dengan pengabaian yang nyaris sempurna terhadap ayat-ayat yang ushul (universal). Ia menyatakan, I'rif al-ushul wa al-fushul; fa inna katsiran min al-nas yathlubuna al-fushul ma'a idha'at al-ushul. Ketahuilah olehmu yang terperinci dan yang prinsip. Karena sebagian besar dari manusia, mencari yang ayat-ayat terperinci, sambil menggabaikan ayat-ayat yang prinsip. Padahal, dalam konteks masyarakat yang semakin mengarah pada kehidupan demokratis dan pluralistik, maka mengacu pada model ayat kedua tadi kiranya tidak cukup menolong. Sebaliknya, dengan berpegangan pada prinsip dasar ajaran seperti yang tertuang didalam model ayat pertama, diharapkan dapat membantu terciptanya masyarakat yang rukun-damai. Terlebih dalam kasus Indonesia. Bahwa Indonesia bukanlah negara yang hanya didirikan oleh komunitas muslim saja, melainkan oleh seluruh warga negara, baik yang beragama Hindu, Buddha, Kristen, maupun Islam.
Indonesia berdiri di atas seluruh jerih payah seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, memperlakukan umat nonmuslim persis seperti yang ada di dalam ayat-ayat partikular yang kemudian ditegaskan di dalam fikih Islam, bukan hanya tidak bijak bestari melainkan juga bertentangan dengan logika ayat-ayat universal yang mendukung pluralisme agama.

Membangun Paradigma Baru Pendidikan Menghadapi Pluralitas
Pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter umat manusia. Dalam kehidupan umat beragama, pendidikan agama yang humanis dan toleran terhadap umat (iman) manusia lainnya sangat diperlukan. Dari problem keagamaan yang dipaparkan di muka, maka model-model pendidikan Islam yang cenderung eksklusif, mengagungkan klaim kebenaran, sakralisasi pemaknaan teks-teks agama, tidak peka terhadap problem kemanusiaan dan kealaman, dan isolatif terhadap informasi kebenaran yang datang di luar pemahaman Islam, maka perlu dilakukan "format ulang" dengan model "open-ended" tafsir keagamaan ataupun pendekatan agama "post-dogmatik" . Relevansinya dengan paradigma baru pendidikan Islam dalam masyarakat majemuk (agama), adalah penting untuk mengemukakan pendapat Soedjatmoko. Menurut Soedjatmoko, peran agama dalam pendidikan adalah menciptakan kesadaran pluralisme agama dengan menumbuhkan perasaan berbagi kemanusiaan dengan orang-orang yang secara fundamental berbeda orientasi ideologisnya. Keharusan untuk berbagi dalam bumi yang kecil ini hendaknya memaksa kita untuk memikirkan kembali alat-alat kultural dan sosial kita agar mampu bertahan (survive) dengan perdamaian, kebebasan dan martabat manusia.
Kemauan berbagi dengan kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial, dan peka dengan batas-batas toleransi masyarakat terhadap perubahan sosial dan terhadap ketidakadilan , merupakan indikator-indikator lainnya yang diharapkan dikembangkan dalam pendidikan Islam. Selain itu, menghadapi pluralitas agama, pendidikan Islam hendaknya mampu membentuk karakter umatnya yang bisa bekerja sama dengan orang lain atau pihak lain terlepas dari perbedaan (diskriminasi) kebudayaan, ras atau agama. Hal penting lainnya yang perlu dilakukan dalam pendidikan Islam adalah agar umat memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan agama sehingga terungkap relevansinya dengan masalah-masalah perkembangan baru.
Pendidikan Islam harus mampu mengemban misi humanistiknya, pendidikan (Islam ) humanistik bermaksud membentuk insan manusia yang memiliki komitmen humaniter sejati, yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah masyarakat.
Untuk mau berbagi kemanusiaan, maka pendidikan Islam perlu memahami eksistensi umat agama lain sebagai sesama makhluk Tuhan dengan dialog dan toleransi. Dialog merupakan konsekuensi dari keberagamaan dalam kehidupan masyarakat yang plural. Tujuan dialog antar iman (agama), adalah belajar memahami eksistensi masing-masing. Jadi, bukan hanya demi kerjasama menghadapi pihak ketiga. Dialog bukan pula hanya demi menjauhkan bahaya saling konflik atau hanya menambah pengetahuan mengenai sebuah kelompok lain. Yang lebih penting lagi memperdalam iman kita masing-masing dan memperkaya spiritualitas kita masing-masing
Dalam perspektif pluralisme, kita semua mempunyai panggilan untuk membangun sebuah taman kehidupan yang indah, tenteram, menarik, simpatik, dan tentunya berguna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Usaha-usaha ke arah itu sebenarnya sudah sering dicoba dengan mengintensifkan dialog antartokoh agama dan masyarakat. Namun, dialog yang terjadi adalah dialog seremonial-formal dengan banyak diwarnai basa basi dan sangat protokoler. Esensi dari dialog sendiri kadang kurang tersentuh. J Donald Moon dalam komentarnya terhadap Practical discourse and communicatives ethis dari Habermas mengatakan bahwa menurut filsuf besar itu salah satu prinsip utama komunikasi adalah reciprocal recognation atau penghargaan, pengenalan timbal balik.
Sikap saling mengenal ini lebih diarahkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam dialog sehingga mereka sungguh-sungguh dapat mengerti pendapat, prinsip-prinsip kebenaran dan keyakinan masing-masing. Persis kekurangan yang sering terjadi dalam dialog adalah kurangnya sikap saling mengerti satu sama lain sehingga masing-masing pihak berbicara menurut sudut pandang, keyakinan dan kebenarannya sendiri. Bahkan, dialog berubah menjadi debat kusir dan dialog berakhir dengan suasana tidak nyaman ketika terjadi pengklaiman kebenaran dari masing-masing pihak.
Dengan demikian, dialog tidak hanya terasa kering dan hambar, tetapi juga sangat kontraproduktif bagi hidup bersama. Meskipun demikian, dialog tetap menempati peran yang sangat penting dalam masyarakat pluralis. Sebab, tanpa ada komunikasi, masing-masing kelompok yang berbeda sangat rentan untuk jatuh dalam eksklusivitas dan akhirnya terjebak dalam fanatisme sempit.
Sayang, dialog sering dipahami dan diwujudkan sebatas dialog verbal dan hanya melibatkan beberapa orang sebagai representasi masyarakat. Sementara di luar itu semua, terdapat sebuah dialog yang sungguh-sungguh murni, tanpa skenario, tanpa diskusi tema, tanpa bahasa dan istilah tinggi, lepas dari unsur seremonial, dan lebih banyak membawa dampak positif dalam kehidupan bersama, yaitu dialog kehidupan.
Dialog kehidupan dengan mengedepankan konsep kesederajatan di antara sesama manusia, pertama-tama tidak memberi penekanan pada tataran verbal, tetapi pada tindakan nyata; didasarkan pada cinta kasih, rasa kekeluargaan, semangat persaudaraan, dan sikap saling membutuhkan.
Penghormatan terhadap eksistensi manusia lewat pemahaman kesederajatan dan kemartabatan ini akan memunculkan sikap toleransi dan saling menghargai terhadap berbagai perbedaan yang ada, kesetiakawanan yang inklusif, rasa solidaritas, tanpa disertai tendensi dan motif-motif kepentingan diri dan kelompok.
Toleransi pun tidak hanya dilakukan kepada umat agama lain, tetapi perlu dilakukan di dalam tubuh Muslim sendiri. Adalah mengherankan, jika dialog dan toleransi agama terhadap umat agama lain gencar dipropagandakan, tetapi terhadap sesama Muslim sendiri, karena berbeda mazhab fiqh dan pemikiran, justru dilupakan sama sekali. Penulis berpendapat seruan ini sudah sering disampaikan oleh segenap pemuka Islam, tetapi selalu mengalami kebuntuan, karena toleransi dan dialog agama masih menjadi milik elit agama, belum menjadi sebuah gerakan massa. Paling jauh, dengan komunitas keagamaan yang berbeda ditanamkan sikaf inklusif, tetapi di antara sesama komunitasnya sendiri justru diperkeras sikap eksklusifisme. Ada standar ganda dalam pola hubungan keberagamaan.
Tanggung jawab Muslim sebagai khalifatullah di muka bumi akan kehilangan makna keberimanannya kepada Allah, tanpa kehadiran umat manusia lainnya meskipun berbeda agama. Menghadapi krisis global sekarang pun, beban kekhalifahan tidak cukup hanya ditanggung oleh umat Islam sendirian. Dalam Etika Global adalah menjadikan setiap manusia untuk diperlakukan manusiawi. Keharusan itu diwujudkan dalam komitmen kemanusiaan kepada budaya tanpa kekerasan dan yang menghargai hidup, budaya solidritas dan tata cara ekonomi yang adil, budaya toleransi dan hidup yang benar, dan budaya kesamaan hak dan kemitraan laki-perempuan.
Untuk mewujudkan komitmen itu, maka dialog antar agama menjadi penting oleh karena itu, maka aspek pluralis, humanis, dan toleran dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan, sehingga tumbuh kepekaan sebagai sesama umat manusia.

Kemerdekaan Beragama
Pada masa lalu, semua agama pasti pernah mengalami penderitaan dan konflik. Hal itu bisa jadi diakibatkan oleh kebijakan yang diskriminatif oleh penguasa atau karena perlakukan agama lain yang lebih mayoritas. Oleh karenanya, hampir semua agama memberikan perhatian yang lebih terhadap hak-hak dasar kebebasan beragama. Kebebasan beragama ini juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keadilan dan kebebasan politik. Dan ketiga hal itu merupakan pilar dari penegakan dan perjuangan demokrasi. Kebebasan individu untuk beragama, hanya bisa diwujudkan dalam sistem yang demokratis. Maka, HAM tentang jaminan beribadah secara bebas dan menyebarkan agamanya harus senantiasa dikembangkan. Jangan sampai, sebuah agama atau sekelompok tertentu dalam intern agama memaksa dan menggunakan kekerasan guna menghegemoni dakwah untuk kelompoknya sendiri.
Asas pluralisme dianut berdasarkan realitas masyarakat yang majemuk. Otoritas, yaitu negara atau MUI, tidak berhak menyatakan bahwa agama yang satu benar dan yang lain salah atau "sesat dan menyesatkan" seperti yang dituduhkan kepada Ahmadiyah dan yang lainnya Artinya, semua agama harus dianggap benar, yaitu benar menurut keyakinan pemeluk agama masing-masing. Sebab, prinsip ini merupakan landasan bagi keadilan, persamaan hak, dan kerukunan antarumat beragama. Tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi.
Demikian juga, tanpa pluralisme, di mana keyakinan masyarakat didominasi oleh keyakinan hegemonik seperti keyakinan para ulama MUI, kebebasan beragama akan terberangus dari bumi Indonesia, Padahal yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang tersimpul dalam istilah "bhinneka tunggal ika". Pluralisme, lewat Pancasila, adalah infrastruktur budaya dari persatuan, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial yang berdasarkan ketuhanan yang mahaesa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Islam sebagai tradisi moral sangat mengakui fakta pluralisme dan kemerdekaan beragama. Dasar pengakuan itu terdiri dua hal: Pertama, karena pluralisme merupakan ajakan terhadap penggunaan pikiran manusia. Alquran memberikan kedudukan yang sangat penting terhadap pilihan rasional dan dorongan individu. Menjadi seorang muslim adalah urusan pilihan rasional dan respon individu. Penekanannya bukan hanya karena nilai etika itu rasional dan ilmiah, namun karena layak dan dapat dimengerti oleh semua manusia. Dalam Al-qur’an-pun juga dijelaskan bahwa tidak ada pemaksaan dalam beragama, karena beragama merupakan pilihan dan kebebasan individu. Kedua, penerimaan sosial atas nilai Islam sebagai sebuah pemahaman oleh individu dan masyarakat yang berbeda-beda. Maksudnya, basis pluralisme ini senantiasa dikelola oleh perbedaan pendapat yang secara luas diperbolehkan oleh norma-norma sosial. Dialektika sosial akan mengembangkan dan menguatkan definisi yang bisa diterima tentang nilai etika .

Kesimpulan
Konflik terjadi kareana adanya sikap saling mengklaim kebenaran agamanya, alirannya ataupun pemahamannya. Siapa yang mempunyai otoritas pemahaman yang benar dari Tuhan?. Problem/konflik yang berkembang saat ini adalah problem penafsiran aja dan celakanya ada perasaan bahwa pemahamannya yang paling benar dan selanjutnya tidak saling mengkafirkan, menghakimi sampai kepada pembumi hangusan aliran karena tidak sesuai dengan pemahaman kita atau suatu aliran. Sumber konflik pro dan kontra terhadap pluralisme adalah adanya pembedaan penafsiran tentang term ini, sehingga yang muncul adalah saling menghujat padahal jika diruntut masing-masing argumentasi semuanya saling melengkapi. Untuk mencari titik temunya maka tradisi dialog antar agama menjadi penting guna mengembangkan nilai-nilai etika Islam yang sangat menghargai kebebasan beragama dan dialok intern agama untuk menjaga ukhuwah dari kesalahpahaman.
Perubahan paradigma pendidikan Islam mutlak dilakukan dalam menghadapi era globalisasi dan ditengah multikulturalisme, hal ini adalah sebuah keniscayaan untuk membuktikan nilai universalitas Islam yang rahmatanlil alamin dan akhirnya menciptakan kehidupan manusia yang harmonis dan humanis.
Peranan negara sebagai penjamin kebebasan beragama perlu dipertegas lagi. Negara harus menjamin bahwa kemerdekaan beragama. Negara tidak boleh mendukung satu agama serta satu kelompok paham selanjutnya menindas yang lainnya. Fungsi negara adalah menjamin kebebasan beragama yang diberikan secara sama kepada semua agama dan pahamnya, sebab ada hubungan mutlak antara kebebasan beragama, institusi, dan kebijakan yang menjamin kebebasan itu. Bila salah satunya timpang, maka dan jaminan kebebasan terancam.

Wallahu A’lam Bisshawab.
*) Penulis adalah alumni UIN Malang dan mahasiswa pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA

Fanani Ahmad Fuad, Islam, Pluralisme, dan Kemerdekaan Beragama. Artikel. (www. Islamlib.com, 2007)
Ghazali Abd Moqsith, Problematika Quranik Pluralisme Agama; Artikel (Media Indonesia, 6 Agustus 2004)
M. Khalid Masud, The Scope of Pluralism in Islamic Moral Traditions, 2002)
Mukhlis, Inklusifisme Tafsir al-Azhar (IAIN Mataram Press, 2004)
Rahardjo Dawam, Kala MUI Mengharamkan Pluralisme, Artikel (Tempointeraktif.com, juga bisa di baca di Koran Tempo edisi 1 Agustus 2005).
Wijdan Aden SZ, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2007)
www.Syiar Islam.com
www.wikipedia.org
Soedjatmoko, Education for Peace: The Role of Religion, Dialog, No. 15, September, Th. VIII:6-10. 1983


*) Penulis adalah alumni UIN Malang dan mahasiswa pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Biodata Singkat Penulis

Nama : M.Mukhlis Fahruddin. S.PdI
Tempat dan tanggal lahir : Lamongan, 20 November 1982
Alamat : Jl.Pemancar Barat.Perum. Deppen. N0. 138 Seturan.Yogjakarta
No.Telp./HP : 085 63625347
No. Rekening : BNI Cabang Unibraw Malang. An.M.Mukhlis Fahruddin. No. 0039489177

Islam dan Pluralisme(1)

0
Tulisan ini dimuat pada http://kahmiuin.blogspot.com

Oleh: M. Mukhlis Fahruddin*

Hubungan antara agama, kepercayaan, klaim kebenaran merupakan tema yang selalu menarik untuk dibicarakan mengingat agama hampir selalu terkait (atau dikaitkan) dengan persoalan konflik dan dialog, konfrontasi, toleransi dan fanatisme, serta perdamaian yang selalu kita temui dalam kehidupan sehari-hari.Demikian pula, marak diberitakan dimedia elektronik maupun cetak akhir-akhir ini yang sering menyinggung persoalan agama dengan beragam penafsirannya, kepercayaan, klem kebenaran serta konflik horisontalnya. Sumber konflik yang rame dibicarakan pada intinya adalah seputar penafsiran, pemahaman dan sikap dari para penganut pemahaman tersebut yang tidak siap menerima perbedaan penafsiran, yang ujung-ujungnya adanya sikap mengkafirkan (menyesatkan) kelompok/aliran lainya.


Siapa yang berhak mengkafirkan?, mengatakan bahwa aliran ini sesat dan aliran itu yang paling benar?. Apakah kita berhak untuk menghakiminya? Kelompok mana yang mempunyai otoritas kebenaran penafsiran? Atau bagaimana sikap kita menghadapi beragamnya pemahaman dan ditengah agama-agama lain. Beberapa kasus yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah, al-Qur'an Suci, al-Qiyadah dan lain sebagainya yang belum ter-ekspos.

Tidak ada yang salah dari ajaran agamanya, dan agama tidak akan menjadi sumber konflik horisontal. Konflik terjadi karena problem penafsiran yang cenderung rawan konflik, sikap yang saling menyalahkan, mengkafirkan dan tidak mengizinkan adanya perbedaan penafsiran. Ini adalah kenyakinan dan kepercayaan, mungkinkah itu kita paksakan kepada kelompok lain?.

Sikap yang harus dibangun adalah menghargai pemahaman orang lain, atau dengan sebutan lain adalah sikap ‘pluralisme’ tetapi gagasan ‘pluralisme’ juga menjadi sumber konflik karena masih ada pro dan kontra terhadap sikap ini. bagaimana sebenarnya sikap pluralisme dalam pandangan Islam?


Pengertian Pluralisme Agama

Pluralisme adalah paham religius artifisial, yang berkembang di Indonesia, dan merupakan bentuk lain dari asimilasi tetapi menyerap nama pluralism. Kata Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng]pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."[1]
Ada dua istilah yang sering kita dengar pada tema ini, yaitu; ‘pluralitas’ dan ‘pluralisme’. Secara etimologis kedua kata tersebut sama-sama memiliki kata dasar ‘plural’ dan masing-masing merupakan terjemahan dari dua kata dalam bahasa inggris, ‘plurality’ dan ‘pluralism’. Kata ‘plurality (pluralitas), dalam kamus, berarti “ kondisi majemuk atau berbilang”. Adapun kata ‘pluralism’ (pluralisme) memiliki dua arti, yaitu:
a) Keberadaan kelompok-kelompok yang berbeda dari segi asal, etnis, pola budaya, agama, dan lain-lain dalam suatu negara atau masyarakat;
b) Kebijakan yang mendukung perlindungan terhadap kelompok-kelompok tersebut dalam negara atau masyarakat.[2]


Dari tinjauan etimologi tersebut, arti kata pluralitas sama dengan pluralisme dalam arti pertama, yaitu sama-sama merujuk kepada realitas kemajemukan; sedangkan arti kedua dari kata pluralisme merujuk kepada sikap memihak atau mendukung realitas tersebut. Ketika dihubungkan dengan kata agama, maka kedua kata tersebut membentuk konsep yang masing-masing memiliki aksentuasi dan referensi makna yang berbeda. Konsep ‘pluralitas agama’ menekankan dan merujuk kepada realitas adanya keragaman agama dan hubungan antara (pemeluk) agama itu dalam realitas; sedangkan ‘pluralisme agama’ menekankan dan merujuk kepada sikap dan pandangan tertentu yang mendukung realitas keragaman agama itu. Konsep pluralisme agama, secara filosofis, merujuk kepada suatu teori tertentu tentang hubungan antar tradisi-tradisi yang berbeda, dengan klaim-klaim mereka yang berbeda dan bersaing.

Singkatnya konsep pluralitas agama merujuk kepada adanya realitas keragaman agama, dan juga adanya hubungan antaragama yang beragam itu. Sedangkan konsep pluralisme agama merujuk kepada sikap atau teori yang positif mendukung realitas keragaman agama dan kesaling-hubungannya.

Pluralisme dalam Islam

Pada dasarnya, pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama saja. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka bisa saling belajar, bergaul, dan membantu antara satu dan lainnya (Q.s. 49:13). Pluralisme mengakui perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah realitas yang pasti ada dimana saja. Justru, dengan pluralisme itu akan tergali berbagai komitmen bersama untuk memperjuangkan sesuatu yang melampaui kepentingan kelompok dan agamanya. Kepentingan itu antara lain adalah perjuangan keadilan, kemanusiaan, pengentasan kemiskinan, dan kemajuan pendidikan. pluralisme adalah sistem nilai yang memandang eksistensi kemajemukan secara positif dan optimis, dan menerimanya sebagai kenyataan dan sangat dihargai.[3]

Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik di antara mereka. [4] Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius. Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Realitas pluralitas yang bisa mendorong ke arah kerja sama dan keterbukaan itu, secara jelas telah diserukan oleh Allah Swt dalam QS. Al-Hujurat:14. Dalam ayat itu, tercermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama.

Dalam QS. Al-Baqarah ayat 213 juga disebutkan: “Manusia itu adalah satu umat. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan beserta mereka diturunkan Kitab-kitab, supaya manusia bisa memberi keputusan antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan”. Dalam ayat itu muncul tiga fakta: kesatuan umat dibawah satu Tuhan; kekhususan agama-agama yang dibawa oleh para nabi; dan peranan wahyu (Kitab suci) dalam mendamaikan perbedaan diantara berbagai umat beragama. Ketiganya adalah konsepsi fundamental Al-quran tentang pluralisme agama. Di satu sisi, konsepsi itu tidak mengingkari kekhususan berbagai agama, di sisi lain konsepsi itu juga menekankan kebutuhan untuk mengakui kesatuan manusia dan kebutuhan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik antar umat beragama.

Menurut Abdulaziz Sachedina (2001)[5], argumen utama pluralisme agama dalam Al-Qur’an didasarkan pada hubungan antara keimanan privat (pribadi) dan proyeksi publiknya dalam masyarakat Islam. Berkenaan dengan keimanan privat, Alquran bersikap nonintervensionis (misalnya, segala bentuk otoritas manusia tidak boleh menganggu keyakinan batin individu). Sedangkan dengan proyeksi publik keimanan, sikap Alquran didasarkan pada prinsip koeksistensi. Yaitu kesediaan dari umat dominan untuk memberikan kebebasan bagi umat beragama lain dengan aturan mereka sendiri. Aturan itu bisa berbentuk cara menjalankan urusan mereka dan untuk hidup berdampingan dengan kaum muslimin. Maka, berdasarkan prinsip itu, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, seharusnya bisa menjadi cermin sebuah masyarakat yang mengakui, menghormati, dan menjalankan pluralisme keagaman. Jadi menurut penulis pluralisme tidak sama menjual keimanan, tidak sama dengan pindah iman, syirik atau murtad.
Pro-kontra Pluralisme Agama

Agama umumnya muncul dalam lingkungan pluralistik dan membentuk eksistensi diri dalam menanggapi pluralisme itu. Bahkan, dikatakan bahwa setiap agama justru lahir dari proses perjumpaan dengan kenyataan pluralitas. Pluralisme adalah fakta sosial yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi agama-agama. Walau demikian, dalam menghadapi dan menanggapi kenyataan adanya berbagai agama yang demikian pluralistik itu, agaknya setiap umat beragama tidaklah monolitik. Mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan. Yaitu kelompok yang menolak gagasan pluralisme agama dan kelompok yang menerima gagasan pluralisme [6]

Pertama, kelompok yang menolak secara mutlak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok eksklusivis. Dalam memandang agama orang lain, kelompok ini sering kali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain. Secara teologis, misalnya, mereka beranggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling otentik berasal dari Tuhan, sementara agama yang lain tak lebih dari sebuah konstruksi manusia, atau mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umatnya sendiri. Mereka memiliki kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agama diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Agama orang lain dipandang bukan sebagai jalan keselamatan paripurna. Mereka mendasarkan pandangan-pandangannya itu pada sejumlah ayat di dalam Alquran. Misalnya, [1] QS Ali Imran (3): 85, [2] QS Ali Imran (3): 19 [3] QS Al-Maidah (5): 3. [4] QS An-Nisa (4): 144.

Ada beberapa pertimbangan yang dijadikan landasan MUI dalam memberikan Fatwah pengharaman/ pelarangan paham pluralisme. (Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005) Tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama, diantaranya adalah;

Firman Allah :

a) “Barang siapa mencari agama selaian agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan terima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran [3]: 85)

b) “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. Ali Imran” [3]: 19)

c) “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6).

d) “Dan tidaklahpatut bagi laki-laki yang Mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Azhab [33:36).

e) “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).

f) “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan”. (QS. al-Qashash [28]: 77).

g) “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta. (terhadap Allah)”. (QS. al-An’am [6]: 116).

h) “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (Q. al-Mu’minun [23]: 71).


Hadis Nabi saw :

a) Imam Muslim (w. 262 H) dalam Kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah saw : Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka. (HR Muslim).

b) Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi Raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Saâd dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam Al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari).

c) Nabi saw melakukan pergaulan social secara baik dengan komunitas-komunitas non-Muslim seperti Komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Aththab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).[7]


Kedua, kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan yang takterhindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik temu yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang dibawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi yang bersifat teknis-operasinal bukan yang substansial-esensial, seperti tentang mekanisme atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi menu favorit di kalangan kelompok kedua ini. Misalnya, [1] QS Al-Kafirun (109):6 [2] QS Al-Baqarah (2): 256. [3] QS Al-Maidah (5): 69, [4] QS Al-An'am (6): 108.

Melihat hal di atas, maka muncul tarik ulur antara satu ayat dengan ayat yang lain. Dalam satu spektrum, pluralisme Quranik diungkapkan melalui janji penyelamatan terhadap orang-orang yang beragama selain agama Islam (QS Al-Baqarah (2):62). Sementara pada spektrum yang lain, absolutisme Islam juga terpampang dengan tegas dalam Al-quran. Kontradiksi nyata antara beberapa ayat Al-quran yang mengakui sumber-sumber penyelamatan otentik lainnya di satu sisi dan ayat-ayat lain yang menyatakan Islam sebagai satu-satunya sumber penyelamatan di sisi yang lain harus diatasi untuk memungkinkan tegaknya sebuah tata kehidupan berdampingan secara damai dengan umat agama lain.

Dalam kenyataannya sayang sekali tidak banyak para ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki perhatian utama untuk coba menyelesaikan ayat-ayat kontradiktif tersebut, baik dengan cara memperbarui penafsiran maupun dengan menyusun sebuah metodologi tafsir yang baru. Hingga sekarang, sekelompok pemikir Islam yang concern pada gagasan pluralisme agama biasanya hanya mengutip satu-dua ayat yang mendukung pluralisme agama dan sering kali melakukan pengabaian bahkan terkesan “lari” dari ayat-ayat yang menghambat jalan pendaratan pluralisme agama. Demikian juga sebaliknya. Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari sudut pluralisme agama, para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang secara literal jelas-jelas mendukung pluralisme agama.



[1] Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Polemik_pluralisme_di_Indonesia


[2] Victoria Neufeldt,1995 dalam Mukhlis, Inklusifisme Tafsir al-Azhar (IAIN Mataram Press, 2004), hlm. 15-16.

[3] Aden Wijdan SZ, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2007) Hlm, 221

[4] Ahmad Fuad Fanani, Islam, Pluralisme, dan Kemerdekaan Beragama. Artikel. (www. Islamlib.com, 2007)


[5] dikutib oleh Ahmad Fuad Fanani, Islam Pluralisme….

[6] Abd Moqsith Ghazali, Problematika Quranik Pluralisme Agama; Artikel (Media Indonesia, 6 Agustus 2004)


[7] www.Syiar Islam.com

Maulid Nabi : Quo Vadis?

1
Tulisan pernah dimuat pada http://almuhtadinperumdam.blogspot.com

Oleh M. Azam Prihatno Azwar*)

Pada tanggal 20 Maret 2008 ini bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1429 H, suatu hari yang sangat bersejarah, bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi seluruh umat manusia. Karena, pada hari tersebut, tepatnya pada tahun 570 M atau 53 tahun sebelum Hijrah, lahirnya sesosok manusia yang nantinya akan mempelopori sebuah revolusi peradaban dunia; peradaban yang penuh dengan keteraturan kemajuan yang transendental. Manusia tersebut bernama Muhammad Rasul Allah SAW.

Perjalanan hidup beliau dipenuhi dengan perjuangan revolutif, baik phisik-material maupun mental-spiritual. Bahkan perjalanan revolutif beliau tersebut membawa perubahan terbesar dalam sejarah kehidupan umat manusia. Beliau menjadi sosok yang teguh dalam menegakkan keadilan, konsisten dalam menundukkan kelaliman dan memiliki rasa belas kasih yang tak terperi.

Dengan kebesaran dan kemuliaan yang dimilikinya membuat manusia seluruh dunia memperingari hari lahir beliau dengan penuh cita-cita dan harapan agar dapat selalu mengambil hikmah dari kehadirannya di muka bumi, demi kepentingan umat manusia itu sendiri. Maka, oleh karena itu, diciptakanlah berbagai macam seremoni agar peristiwa kelahiran beliau tersebut bisa “berkesan” bagi yang memperingatinya, meskipun beliau tidak pernah menganjurkan umatnya untuk memperingati hari lahirnya. Mulai dari yang sangat sederhana, seperti mengadakan ceramah seputar hari lahir beliau, sampai dengan kegiatan yang penuh dengan nuansa mistis, seperti yang biasa kita saksikan pada sebagian masyarakat kita.

Terlepas dari apa yang dilakukan umat dalam memperingati hari lahir beliau, yang terpenting perlu kita sikapi dari peristiwa ini adalah seberapa besar

manfaat yang bisa kita ambil untuk kehidupan umat manusia, kini dan masa mendatang. Jangan sampai kegiatan yang dilakukan terjebak pada suatu rutinitas yang tidak membawa arti apa-apa bagi umat; Kegiatan peringatan hari lahir Muhammad SAW (Maulid Nabi) dilaksanakan hanya karena perasaan “tidak enak” kalau tidak dilaksanakan. Kalau hal ini yang terjadi, maka jangankan untuk mendapatkan hikmah, pelaksanaanya pun akan terasa kering dan menjemukan, baik bagi pelaksana kegiatan maupun jama’ahnya, sehingga akhirnya , manfaat yang diharapkan akan susah didapat.
Untuk mencegah agar kegiatan Maulid Nabi tidak terjebak pada suatu rutinitas belaka, kita harus memulainya dari suatu pertanyaan: “Apakah tujuan dalam melaksanakan peringatan Maulid?”. Jawaban dari pertanyaan ini akan memunculkan pertanyaan berikutnya, yaitu “Bagaimana caranya agar tujuan dari peringatan tersebut dapat tercapai?” dan akhirnya “Apa bentuk kegiatannya?”. Dengan metode ini diharapkan akan muncul suatu kegiatan Maulid yang cerdas-kreatif dan kontekstual terhadap permasalahan umat yang terjadi saat ini.

Jawaban dari pertanyaan ”Apa tujuan peringatan Maulid?”, diawali dari persoalan lokal umat yang ada di sekitar kita dengan rincian yang nyata bukan normatif. Misalnya, masalah nyata pada masyarakat sekitar adalah masalah kebodohan maka kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan upaya untuk mencerdaskan umat, atau ketidakpedulian umat maka kegiatannya mengarah pada penumbuhan kesadaran untuk peduli pada umat. Dapat juga, umpamanya yang terjadi pada masyarakat sekitar adalah masalah kekosongan spiritual maka kegiatannya adalah dalam rangka menjawab persoalan itu, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya, kegiatan yang dilakukan diupayakan untuk selalu berada pada upaya “problem solving” bagi permasalahan umat sekitar kita.

Peringatan Maulid Nabi, dengan demikian, menjadi suatu kegiatan yang bernas, penuh dengan solusi yang cerdas dan dinamis bagi kemajuan umat manusia seluruhnya, sesuai dengan keinginan Tuhan mengangkat Muhammad sebagai Rasul-Nya yaitu sebagi rahmatan lin ‘alamin , rahmat bagi sekalian alam. Sehingga peringatan Maulid Nabi juga mengapresiasi keinginan Tuhan tersebut.

Akan tetapi, kalau kita mencoba melaksanakan peringatan Maulid Nabi dengan metode seperti di atas, mungkinkah hanya dengan peringatan yang bersifat seremonial belaka. Jawabnya sudah pasti: Tidak. Lalu…, Bagaimana?


Kita harus melakukan perubahan yang paradigmatik dalam menyikapi hari lahir Nabi Muhammad SAW, dari yang hanya “peringatan” menjadi “Gerakan Peringatan Maulid Nabi”, suatu gerakan yang disusun secara sistematis dan terorganisir. Maka dari itu, kegiatan yang berkaitan dengan Maulid Nabi harus dilaksanakan dengan segala daya-upaya bukan dengan “sekedar saja”; yang penting terlaksana. Kita harus meninggalkan kebiasaan “sekedar saja” dalam membangun kejayaan Islam. Dan, dengan demikian, kita sudah melangkah satu langkah ke depan.

Memang untuk taraf awal, kita hanya “sekedar” melaksanakan peringatan Maulid Nabi, tapi akankah kita terus seperti ini?. Kalau ini terus kita lakukan, maka jangan mengeluh melihat kondisi umat yang seperti ini dimana Masjid belum dijadikan sebagai “rumah kedua”, kebodohan dan kemiskinan masih diderita sebagian umat Islam; umat masih merasa jauh dari Tuhannya.

Satu hal lagi, yang tak kurang pentingnya dari peringatan Maulid Nabi adalah bagaimana kita menjadikan momen Maulid sebagai upaya secara sadar untuk “melahirkan” kembali Muhammad SAW. Rasulullah memang telah wafat, tapi yang wafat hanyalah jasadnya, risalah perjuangannya yang telah diinstitusikan dalam “Sunnah Rasul” tidak boleh mati. Jadi, setiap tahun akan selalu “lahir” Muhammad yang dapat membawa pencerahan bagi kita. Kalau dahulu, pada saat Muhammad SAW masih hidup, ketika sahabat beliau ada permasalahan maka akan mudah untuk mendapatkan jawaban karena dapat langsung “curhat” kepada Baginda Rasul. Kalau kita selalu melahirkan kembali Muhammad pada setiap peringatan Maulid Nabi, maka kita pun dapat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para sahabat Rasul zaman dahulu, kendati pun dalam bentuk yang lain, yaitu dengan selalu merujuk pada Sunnahnya.


Hanya saja, permasalahannya sekarang, bagaimana kita dapat menghadirkan kembali Muhammad SAW dalam keseharian kita?, sedangkan kita jarang sekali mempelajari, apalagi menghayati sejarah hidup beliau, yang akhirnya-dapat dikatakan-, kita belum mengenal Muhammad SAW, kononlah lagi akan mencintainya, bahkan akan menghadirkannya dalam setiap peringatan Maulid.
Sedangkan, apabila kita telah mempelajari sejarah Rasul Muhammad, itupun menurut Muhammad Al Ghazaliy belum cukup, sebagaimana termaktub dalam bukunya pada halaman paling terakhir yang berjudul Fiqhus Sirah, yaitu, sebagai berikut:

“Mungkin anda merasa telah mempelajari kehidupan Muhammad Rasul Allah SAW. Bila anda telah mengikuti sejarah hidupnya sejak belau lahir hingga wafat. Itu adalah anggapan yang sangat keliru. Anda tidak akan memahami benar-benar riwayat kehidupan beliau kecuali jika anda telah mempelajari dan memahami isi Al Qur’anul Karim dan Sunnah Suci Rasul Allah SAW.


Seberapa dekat hubungan anda dengan seorang nabi pembawa agama Islam tergantung pada sejauh mana anda memahami dan mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”

******

Selamat ber-Maulid Nabi, semoga kita selalu dalam upaya untuk menjadikan beliau sebagai uswah utama dalam kehidupan ini. Aamiin.

*) Penulis adalah salah satu pengurus masjid dan masih aktif di lembaga sosial masyarakat
 

Popular Posts

Labels